Thursday, June 28, 2007

Kami Adalah Dai

Nahnu Du’aatun Qabla Kulli Syai’in. “Kami adalah dai sebelum jadi apapun”.

Suatu gambaran pribadi yang unik dengan penataan resiko terencana untuk meraih masa depan bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus sampai ke suatu terminal akhir kebahagiaan surga penuh ridha Allah swt.

Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai kepada Allah, berarti ia adalah dai kepada selain Allah, tidak ada pilihan ketiganya. sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu. Dan hidup di dunia adalah jenak-jenak dari bendul waktu yang tersedia untuk memilih secara merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak bisa hidup tanpanya. Aduhai, betapa agungnya agama Islam jika diemban oleh rijal (orang mulia).
Dakwah merupakan aktivitas yang begitu dekat dengan aktivitas kaum muslimin. Begitu dekatnya sehingga hampir seluruh lapisan terlibat di dalamnya.Sayang keterlibatan tersebut tidak dibekali ”Fiqh Dakwah” sehingga kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada kebaikan yang diperbuat.

Disini menjadi jelas akan pentingnya kebutuhan terhadap fiqh dakwah, sebagaimana digambarkan para ulama, bahwa ”kebutuhan manusia akan ilmu lebih sangat daripada kebutuhan terhadap makan dan minum”. Sehinga penting bagi kaum muslimin yang telah dan hendak terjun dalam kancah dakwah untuk membekali diri dengan pemahaman yang utuh terhadap Islam dan dakwah Islam. Karena orang yang piawai dalam menyampaikan namun tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam ”sama bahayanya” dengan orang yang memiliki pemahaman yang benar akan tetapi bodoh di dalam menyampaikan, mengapa?

Pertama; ia akan menyesatkan kaum muslimin dengan kepiawaiannya (logika kosongnya). Kedua; Hal itu akan menjadi ”dalil” bagi orang-orang kafir dalam kekafirannya (keungulan bungkusannya).

Adalah fiqh dakwah merupakan sarana untuk menjembatani lahirnya pemahaman yang shahih terhadap Islam didukung kemampuan yang baik di dalam menyampaikan. Sehingga dengan aktivitas dakwah ini ummat dapat menyaksikan ”Islam” dalam diri, keluarga dan aktivitas para dai yang melakukan perbaikan ummat secara integral, mengeluarkan manusia dari pekat jahiliyah menuju cahaya Islam.

Bagi mereka yang yang berjalan diatas rel kafilah dakwah menuju cahaya dan kebahagiaan dunia dan akherat, dapat melihat prinsip-prinsip dakwah dan kaidah- kaidahnya, agar menjadi hujjah atau pegangan bagi manusia dan menjadi alasan di hadapan Allah, Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz memaparkan tentang hal ini, yaitu; ”Fiqh Da’wah: Prinsip dan kaidah dasar Dakwah”, yang diambil dari usul fiqh sebagai bekal para dai tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qudwah (teladan) sebelum dakwah
2. Menjalin keakraban sebelum pengajaran
3. Mengenalkan Islam sebelum memberi tugas
4. Bertahap dalam pembebanan tugas
5. Mempermudah, bukan mempersulit
6. Menyampaikan yang ushul (dasar) sebelum yang furu’ (cabang)
7. Memberi kabar gembira sebelum ancaman
8. Memahaman, bukan mendikte
9. Mendidik bukan menelanjangi
10. Menjadi murid seorang imam, bukan muridnya buku.

Harapan, kiranya Allah swt senantiasa mencurahkan taufiq dan petunjuk-Nya kepada para dai yang ikhlas menyeru manusia ke jalan Allah, memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat serta tempat kerja, sehingga Allah terlibat dalam urusan dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan untuk orang banyak, demi tegaknya tatanan Islam yang indah dalam kehidupan dengan bimbingan Alah dan sesuai panduan manhaj (aturan) dakwah Rasulullah saw. Wallahu ‘alam

Baca Selengkapnya...Klik disini.......

Kekuatan Ruhiyah Seorang Dai

Pembentukan kepribadian seorang dai merupakan bekal asasi dalam mengemban tugas dakwah. Tentu kita sudah mafhum bahwa iman, ikhlas, berani, sabar, dan optimisme merupakan prinsip utama dalam membentuk kepribadian. Sifat ini tidak akan terkumpul kecuali jika para dai betul-betul merasakan manisnya iman. Iman yang membuat mereka memasrahkan diri kepada Allah swt. Sehingga mereka semakin mantap untuk melangkah menuju Allah swt. Untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya: hidup mulia atau mati syahid.Sesungguhnya Al-Qur’an telah memberikan paparan yang amat jelas tentang proses penyiapan rohaniah bagi seorang dai dalam pembentukan keimanannya dan tarbiyah yang menghantarkan pada tujuan tersebut. Sebagaimana dalam surat Al-Anfal ayat 29: “Hai orang–orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” Juga dalam surat Al-Hadid ayat 28 dan surat At-Thalaq ayat 2 dan 3.
Bila kita renungkan ayat di atas, kita dapati bahwa takwa merupakan bekal utama bagi seorang mukmin, terlebih sebagai dai. Dan ketakwaan adalah kebajikan dan cahaya. Yang dengannya ia dapat memberikan sinar cahaya untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Bila demikian halnya maka ia dapat mengikuti jalan petunjuk dengan mudah tanpa hambatan dan tersesat sedikit pun.

Sayyid Quthb menjelaskan makna surat Al-Anfal ayat 29 dengan menyatakan, “Inilah bekal tersebut. Inilah bekal dalam mengarungi perjalanan yang panjang. Yaitu bekal takwa yang menghidupkan hati dan membangunkannya. Bekal cahaya yang memberi petunjuk bagi hati untuk membelah sudut-sudut jalan sepanjang penglihatan manusia. Cahaya ini tidak bisa ditipu oleh syubhat-syubhat yang mata biasa tidak bisa menembusnya. Itulah bekal ampunan bagi segala dosa. Bekal yang memberikan ketenteraman, kesejukan, dan kemantapan. Bahwa takwa kepada Allah itu menjadikan nilai furqan dalam hati. Ia bisa membuka jalan-jalan yang bengkok.

Sesungguhnya al-haq itu sendiri tidak menutup-nutupi fitrah, tetapi hawa nafsulah yang menolak al-haq dan fitrah. Hawa nafsu itulah yang menyebarluaskan kezhaliman, menghalang-halangi penglihatan dan membutakan jalan-jalan kebenaran, serta merahasiakan petunjuk. Hawa nafsu itu tidak bisa hanya didorong dan didukung oleh hujjah. Akan tetapi ia hanya bisa digerakkan dan ditopang oleh takwa, rasa takut kepada Allah, dan muraqabah (pengawasan) Allah di saat sepi maupun ramai. Dengan sendirinya furqan itulah yang menyinari hati, menghilangkan kerancuan, dan membelah jalan-jalan kebenaran.

Takwa adalah hasil yang pasti. Ia adalah buah nyata dari perasaan yang mempunyai keimanan yang dalam. Keimanan ini bersambung dengan muraqabah Allah, takut kepada-Nya, dan takut akan marah dan siksaan-Nya. Dan senantiasa memohon ampunan-Nya dan pahala dari Allah. Atau takwa itu –sebagaimana dikatakan oleh ulama– adalah: “Menjauhi (takut) azab Allah dengan mengerjakan amalan yang shalih dan takut kepada-Nya di saat sepi dan ramai.”

Berpijak dari sinilah Al-Qur’an sangat memperhatikan fadhilah takwa. Hal ini bisa dijumpai dalam berbagai ayat-ayat yang jelas dan gamblang. Sehingga hampir-hampir orang yang membaca Al-Qur’an belum sampai membaca satu halaman atau baru membaca beberapa ayat melainkan di situ ia mendapati kata takwa.

Dari sinilah para sahabat dan salafus shalih sangat serius memperhatikan takwa. Mereka benar-benar telah mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka bersungguh-sungguh ingin mencapai derajat takwa dan meminta sifat takwa kepada Allah swt. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar Al-Faruq bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai ‘Apa itu taqwa’. Ubay bin Ka’ab menjawab: ‘Bukankah Anda pernah melewati jalan yang berduri?’ Umar menjawab: ‘Ya benar’. Ubay berkata: ‘Itulah taqwa.’

Atas dasar itulah, Sayyid Qutb menjelaskan dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an’, “Itulah takwa. (yaitu) hati yang sensitif, perasaan yang jernih, ketakutan yang terus menerus (kepada Allah), kewaspadaan yang tidak henti-hentinya dan menjauhi duri-duri jalan, yaitu jalan kehidupan yang senantiasa diliputi pengharapan yang tak bermakna dan syahwat, duri-duri ketamakan dan ambisi, duri-duri ketakutan dan kecemasan, duri-duri takut terhadap sesuatu yang tidak mempunyai manfaat maupun mudarat, dan berpuluh-puluh duri-duri yang lain.”

Lantaran jalan untuk meraihnya tidaklah mudah, maka upaya untuk itu diperlukan modal utama. Yakni, pertama, al-Iman (keimanan). Seorang dai mesti meyakini Allah swt. dalam segala ruang lingkupnya. Yakin akan ajaran-Nya, yakin terhadap pembelaan-Nya, yakin dengan balasan dan sanksi yang dijanjikan-Nya. Iman yang kokoh tidak akan membuatnya goyah dalam mengarungi jalan dakwah yang penuh liku ini. Modal keimanan ini tidak boleh berkurang sama sekali. Bahkan ia harus selalu penuh dan penuh. Bila perlu senantiasa surplus sehingga dapat memudahkan diri mengemban amanah dakwah ini. Perhatikan bagaimana sikap sahabat dalam mengemban tugas dakwah yang tidak pernah kendur lantaran keimanannya yang selalu meningkat seperti yang Allah gambarkan dalam surat Al Ahzab ayat 22–23.

Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka Berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur; dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).

Kedua, al-Ikhlas (keikhlasan). Maknanya adalah senantiasa berharap hanya pada Allah swt. sehingga ia tidak kendur dalam meniti jalan panjang ini. Seluruh amal yang dilakukannya diserahkan kepada Allah swt. Tidak pernah terbetik sedikit pun interes duniawi dalam hatinya. Sebab sedikit saja ia tergelincir, bisa merusak kekokohan hatinya berdakwah. Seorang pengemban dakwah ini selayaknya selalu memiliki daya tahan terhadap rayuan dunia. Dalam hatinya hanya balasan dan keridhaan Allah semata yang paling berharga. Perhatikanlah surat Al-Kahfi ayat 28.

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Ketiga, asy-syaja’ah (keberanian). Seorang dai mesti berani berdiri di atas jalan yang penuh resiko ini. Keberanian membuat dirinya tidak pernah surut dalam melangkah. Berani sebagai prinsip para ksatria dakwah. Ia tahu betul bahwa yang ia bawa adalah kebenaran sehingga rasa takutnya hanya pada Allah swt. dan siksa-Nya yang amat pedih. Bila demikian ia akan terus berdiri tegar bagai batu karang di tengah lautan yang kokoh meski diterjang badai. Keberanian ini juga bersumber dari keyakinannya pada ketentuan Allah yang telah digariskan untuknya. Sebagaimana nasihat Rasulullah saw. kepada Ibnu Abbas r.a. agar yakin pada takdir yang ditetapkan Allah swt. akan mudharat dan mashalat yang berlaku pada dirinya. Lihatlah surat Al-Maidah ayat 44.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Keempat, ash-shabru (kesabaran). Perjalanan yang dihiasi debu-debu kesulitan ini membutuhkan kesabaran yang besar. Sabar terhadap jalan yang ditempuh dan sabar terhadap orang-orang yang didakwahinya. Kesabaran menjadi kunci sukses dalam jalan ini. Ia tidak tergesa-gesa untuk mencapai hasil. Ia juga tidak akan cepat mengeluh lantaran beratnya medan dakwah yang ia tekuni. Ia tampil dengan semangat kesabarannya yang akan membawanya memetik buah dakwah ini. Sebagaimana ungkapan Hasan Al Banna, “Barangsiapa yang tergesa-gesa ingin memetik buah sebelum masanya, maka tinggalkanlah jalan ini. Dan barangsiapa yang bersabar, marilah jalan bersamaku.” Sebab, kesabaran modal menuju kemenangan. Perhatikan surat Ali Imran ayat 200.

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.

Kelima, at-tafa’ul (optimisme). Seorang dai tidak boleh pesimis sedikit pun walau menghadapi berbagai kondisi yang tidak mengenakan hatinya. Ia harus mengokohkan bangunan optimisnya agar selalu penuh harapan dan tidak ada ruang kekecewaan sekecil apapun dalam jiwanya. Sekalipun saat itu ia harus berhadapan dengan rintangan maupun cemoohan manusia. Ia tidak boleh balik ke belakang karena tekanan itu. Sebagaimana Rasulullah saw. di saat menghadapi cemoohan masyarakat Thaif. Beliau masih memiliki harapan yang besar dengan menyatakan, “Aku berharap anak cucu mereka dapat menerima seruan kelak.” Dan ternyata harapan itu terwujud. Lihatlah surat Ali Imran ayat 139.

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

Adapun upaya untuk meningkatkan ketakwaan diri yang menjadi bekal bagi dai untuk mengokohkan kepribadiannya, di antaranya sebagai berikut:

1. Al-mu’ahadah (berikrar)

Yang dimaksud mu’ahadah di sini adalah mengikrarkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk merealisasikan janji sebagaimana dalam surat An-Nahl ayat 91: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian itu, sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi kalian (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat”.

Adapun salah satu upaya untuk melakukan mu’ahadah dapat berupa pernyataan sikap seorang mukmin dalam kesendiriannya kepada Rabb-nya dan berkata pada jiwanya: “Wahai jiwaku, sesungguhnya aku telah menyerahkan janji kepada Allah dalam kegiatan sehari-hari di hadapan Allah swt.”; dan memanjatkan doa: “Hanya kepada-Mu lah, ya Allah, aku beribadah dan meminta pertolongan. Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau marahi dan orang-orang yang sesat.” Wahai jiwaku. Bukankah dalam munajat yang telah engkau ucapkan di hadapan Allah adalah ikrar dari engkau bahwa engkau tidak akan beribadah kecuali kepada Allah. Engkau tidak akan meminta pertolongan melainkan hanya kepada Allah. Dan engkau akan iltizam dengan jalan Allah yang lurus.

Setelah ikrar tersebut, perlu dicamkan pernyataan berikut ini bahwa siapa yang melanggar janji sesungguhnya ia hanyalah melanggar janjinya sendiri. Siapa yang sesat, sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri. Dan seseorang itu tidak akan menanggung dosa orang lain dan Allah tidak akan menurunkan siksa-Nya melainkan setelah datangnya Rasul. Wahai saudara, sesungguhnya apabila Anda mengikat diri Anda setiap hari untuk iltizam dengan janji-janji ini yang Anda berikan tiap hari sebanyak tujuh belas kali atau lebih kemudian Anda menepati janji tersebut dan melaksanakannya, maka sesungguhnya Anda mulai naik menuju tangga takwa. Anda berjalan menuju rohaniah. Dan di akhir perjalanan, Anda sampai menjadi orang-orang yang bertaqwa.

2. Al-muraqabah (merasa diawasi)

Sebenarnya muraqabah adalah sabda Rasulullah saw. ketika beliau ditanya apa itu ihsan: “Yaitu engkau hendaklah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (Muslim).

Arti muraqabah adalah menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah di setiap waktu dan kondisi ketika sendirian maupun waktu beramai-ramai sehingga kita selalu merasakan kebersamaan dengan Sang Maha Melihat dan Mendengar.

Adapun upaya untuk meningkatkan muraqabah adalah: Hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya sebelum melakukan sesuatu pekerjaan atau di tengah-tengah proses kerja. Apakah pekerjaan ini digerakkan oleh kepentingan pribadi dan mencari sanjungan atau kemasyhuran. Ataukah ini digerakkan oleh keridhaan Allah dan mencari pahala dari–Nya. Apabila pekerjaan tersebut didorong karena Allah, hendaknya ia terus melangkah ke depan tanpa ragu-ragu. Tapi sebaliknya jika digerakkan hawa nafsu, sepatutnya ia berpaling dari padanya, meninggalkannya dan memperbaharui niat kembali dan bertekad untuk memulai mengerjakan amalan yang baru dengan tajarrud dari semua kepentingan pribadi, ikhlas dan mencari keridhaan Allah semata. Ikhlas dan tajarrud yang sebenarnya menjadi pembebasan yang menyeluruh dari tempat-tempat kemunafikan dan riya’.

Imam Hasan Basri –semoga Allah merahmatinya– berkata: “Semoga Allah merahmati seseorang hamba yang serius memperhatikan niatnya. Apabila niatnya itu karena Allah swt., maka ia terus berjalan; dan apabila bukan karena Allah, ia berhenti tidak meneruskan amalan tersebut.” Muraqabah Allah bagi seorang hamba itu bermacam-macam: muraqabah Allah dalam hal-hal yang mubah, maka muraqabah ini dengan jalan menjaga norma-norma dan mensyukuri nikmat.

Sesungguhnya jika Anda mempunyai muraqabah Allah sampai ke tingkatan ini, maka dengan tidak ragu-ragu lagi Anda telah menapaki jalan takwa. Anda melangkah ke jalan rohaniah dan di penghujung akhir Anda tiba di tempat orang-orang yang bertakwa.

3. Al-mu’aqabah (memberikan sanksi)

Maksud mu’aqabah ini adalah untuk memperkokoh kehendaknya mencapai ketakwaan dengan memberikan sanksi bila melakukan hal-hal yang dapat melemahkan cita-cita tersebut. Betapa pun manusia telah mengevaluasi dirinya, akan tetapi ia tidak akan terbebaskan dari perbuatan maksiat dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas untuk mengabaikannya. Jika ia mengabaikannya, maka ia akan mudah tergelincir melakukan kemaksiatan. Jiwanya menjadi senang kepada maksiat dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya sehingga mu’aqabah menjadi sangat urgen untuk mencapai hal tersebut.

Pada dasarnya sanksi ini untuk semakin meningkatkan integritas dirinya dalam mengemban amanah dakwah ini. Seorang dai tidak boleh sungkan-sungkan untuk memberikan sanksi atas dirinya. Coba bayangkan bagaimana para sahabat terdahulu yang telah bersusah payah memberikan sanksi pada diri untuk mendapatkan ampunan-Nya. Mereka lakukan itu dalam rangka memperbaiki dirinya dari kesalahannya sehingga kesalahan tersebut tidak terulangi lagi. Keraguan untuk memberikan sanksi dapat menggampang-gampangkan semua urusan. Bila ini dihubungkan dengan dakwah, maka amat sangat fatal akibatnya.

4. Al-mujahadah (bersungguh-sungguh)

Mujahadah adalah berupaya sungguh-sungguh untuk mencapai derajat ketakwaan dan kekuatan rohaniahnya sehingga semaksimal mungkin mengerahkan berbagai potensi untuk bisa meraihnya. Setelah Anda mengetahui hal ini, marilah Anda ke tempat peristirahatan yang khusus. Apabila Anda meletakkan barang-barang bawaan Anda di tempat tersebut, maka Anda akan bernafas dengan nafas-nafas keimanan. Anda akan berbekal takwa. Diri Anda akan bersinar terang dengan cahaya rohaniah. Dan Anda akan menjadi insan yang shalih, mukmin dan bertaqwa, muslim yang berwibawa dan orang yang mukhlis. Bahkan jika Anda berjalan, maka dalam jalan Anda akan ada ketenangan. Apabila Anda berbicara, maka dalam pembicaraan Anda pengaruh yang kuat. Apabila Anda berbuat, maka perbuatan Anda adalah qudwah. Apabila Anda muncul, maka raut muka Anda ada daya tarik tersendiri. Dan apabila Anda melihat, maka dalam penglihatan Anda ada cahaya terang. Di tempat ini Anda akan menemukan proses tarbiyah dan mujahadah yang akan menjadi sumber inspirasi dan pendorong ruhiyah seorang dai.

Bahkan tempat peristirahatan tadi akan menjadi penggerak utama baginya dalam memikul tanggung jawab. Ia akan menjadi pengemudi yang mahir dalam menempuh perjalanan istiqamah. Dan menjadi pengingat dari kesalahan dan penyelewengan. Apabila seorang dai tidak mempunyai petunjuk-petunjuk ruhiyah yang menyeluruh, maka hidupnya akan kosong dari kesan dan pengaruh. Ia akan jatuh dan sarang ujub, nifaq, dan riya’. Ia akan terjerumus dalam lumpur ghurur, ananiyah (egoisme), dan sombong. Ia berjalan ke arah dakwah karena didorong kepentingan pribadi, bukan karena Allah. Ia membangun kejayaan hanya untuk sendiri, bukan untuk Islam. Dan beramal hanya untuk dunianya, bukan untuk akhiratnya.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Al-Kahfi: 28)
E-Mail This Post/Page

Baca Selengkapnya...Klik disini.......

Sunday, March 18, 2007

TARBIYAH

Pengertian Tarbiyah secara bahasa adalah Tansyi`ah (pembentukan), Ri`ayah (pemeliharaan), Tanmiyah (pengembangan),dan Taujih (pengarahan)

Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media yang ragam dan bermacam-macam, seperti halaqoh, mabit, tatsqif, ta`lim fil masajid, mukhoyyam, lailatul katibah dan lainnya harus memperhatikan empat hal diatas sebagai langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis yaitu terbentuknya pribadi muslim da`i atau muslim shalih mushlih.

1. Tansyi`ah (pembentukan)
Dalam proses tansyi`ah harus memperhatikan tiga sisi penting yaitu :.............. a. Pembentukan Ruhiyah Ma`nawiyah
Pembentukan ruhiyah ma`nawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah ritual seperti qiyamul lail, shaum sunnah, tilawah Qur`an, dzikir dll. Para Murabbi harus mampu menjadikan sarana sarana tarbiyah semisal mabit, lailatul katibah, jalsah ruhiyah, dalam membentuk pribadi Mutarabbi pada sisi ruhiyah ma`nawiyahnya dan dirasakan serta disadari oleh Mutarabbi bahwa ia sedang menjalani proses pembentukan ma`nawiyah ruhiyah. Jangan sampai mabit hanya untuk mabit.
b. Pembentukan Fikriyah Tsaqofiyah.
Sarana dan media tarbiyah tsaqofiyah harus dijadikan sebagai sarana dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqofiyah,jangan sampai tatsqif untuk tatsqif dan ta`lim untuk ta`lim, tetapi harus jelas tujuannya bahwa tatsqif untuk pembentukan tsaqofah yang benar dan utuh, ta`lim untuk tafaqquh fid dien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh Murabbi dan Mutarabbi.
c. Amaliyah Harakiyah.
Proses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah juga bertujuan membentuk amaliah harakiyah yang harus dilakukan secara berbarengan dan berkeseimbangan seperti kewajiban rekruitmen dengan da`wah fardiyah, da`wah `ammah dan bentuk-bentuk nasyrud da`wah lainya. …… serta pengelolaan halaqoh tarbawiyah yang baru sehingga sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah teraktualisasi dan terformulasi dalam bentuk amal nyata dan kegiatan ril serta dirasakan oleh lingkungan dan mayarakat luas.

2. Ar ri`ayah (pemeliharaan).
Kepribadian Islami yang sudah atau mulai terbentuk harus dijaga dan dipelihara ma`nawiyah, fikriyah dan amaliyahnya serta harus selalu dimutaba`ah (dikontrol) dan ditaqwim (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalam tilawah yaumiyah, qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbawiyah dan aktivitas da`wah serta pembinaan kader.

3. At Tanmiyah (pengembangan).
Dalam proses tarbiyah, Murabbi dan Mutarabbi tidak boleh puas dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi menganggap sudah sempurna. Murabbi dan Mutarabbi yang baik adalah Murabbi dan Mutarabbi yang selalu memperbaiki kekurangan dan kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh kedepan, bahwa tarbiyah harus siap dan mampu menawarkan konsep perubahan dan dapat mengajukan solusi dari berbagai permasalahan ummat dan berani tampil memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri dan jamaah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.

4. At Taujih (pengarahan) dan At Tauzhif (Pemberdayaan).
Tarbiyah tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan …… dan kualitas diri untuk menjadi unsur perubah yang aktif dan produktif ( Al Muslim Ash Shalih Al Mushlih ). Murabbi dapat mengarahkan, memfungsikan dan memberdayakan Mutarabbinya sesuai dengan bidang dan kapasitasnya.Mutarabbi siap untuk diarahkan, ditugaskan, ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi ril untuk da`wah, jamaah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi tegaknya dienul Islam.

“ Diantara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka telah janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya. “ ( QS 33 : 23 )

Indikasi keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dan kontribusi kader dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi kemunkaran memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk kebathilan yang menghadang dan menghalangi lajunya da`wah Islam.

“ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu`min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga kepada mereka, mereka berperanpada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur`an, dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain ) daripada Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar “ (QS 9 : 111)

Semoga Allah selalu bersama kita dan kemenangan memihak kepada kita.
“ Jika kamu membela (agama) Allah, pasti Allah memberikan kemenangan kepadamu dan mengokohkan kakimu diatas jalan yang haq”

Baca Selengkapnya...Klik disini.......

PROFIL PRIBADI MUSLIM

Al-Qur'an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah merupakan sesuatu yang............... harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim, yakni :

1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam" (QS. 6:162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da'wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.

2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: "Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat". Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur'an. Allah berfirman yang artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung" (QS. 68:4).

4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)

5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur'an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: " pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir" (QS 2:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: "samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?"', sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (QS 39:9)

6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)" (HR. Hakim)

7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: "Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu". Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.

9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur'an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.

10. Nafi'un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi'un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur'an dan sunnah. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.

Baca Selengkapnya...Klik disini.......